Sejarah Bendera Buddhis Internasional dan Arti Warna Bendera

Untuk menentukan simbol suatu bangsa atau negara maupun kesatuan, biasanya ditandai dengan panji atau bendera. Untuk menciptakan simbol- simbol tersebut tidak sembarangan, karena merupakan suatu `pengenalan’ yang otentik. Seperti halnya bendera negara Republik Indonesia yang hanya dua warna, merah dan putih, diakui dunia sebagai hasil ciptaan almarhumah Fatmawati, istri Presiden Pertama RI, Ir Soekarno.

Membicarakan hal ini, dalam memperkenalkan bendera Buddhis secara internasional pun memerlukan rancangan yang serius. Seperti yang dituturkan Col. HS. Olcott dalam bukunya yang berjudul “Old Dairy Leaves”, tentang sejarah terciptanya Bendera Buddhis internasional.

Fundamental

PADA suatu ketika di bulan Februari 1885, kawan-kawanku dari Colombo (Sri -Lanka) yang tergabung dalam Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka (Buddhis Defence Committee), mendapat sebuah gagasan untuk membuat bendera yang dapat menjadi symbol dan lambang yang kelak dapat diterima oleh semua sekte umat Buddha di dunia.

Hal tersebut merupakan sebuah ide yang teramat bagus. Dan ketika hal itu dicetuskan, dengan serta-merta saya sudah melihat adanya potensi dalam bendera semacam itu, yang kelak dapat menjadi lambang persatuan di kemudian hari.

“Hal tersebut akan dapat membantu usaha saya untuk mempersatukan umat Buddha di dunia, yang saya rintis sejak saya terjun dalam Buddha Dharma. Dengan adanya titik-titik ketidaksamaan yang begitu banyak antara ajaran agama Buddha aliran Utara dengan ajaran aliran Selatan, pekerjaan untuk mempersatukan pendapat mereka sungguh saya rasakan kesulitannya”, ujar Olcott.

“Namun, melihat dasar fundamental, yang sama antara aliran Utara dan Selatan, maka saya masih mempunyai harapan untuk dapat mempersatukan pendapat mereka dalam merencanakan sebuah bendera persatuan yang dapat diterima oleh semua pihak”, tulis Olcott selanjutnya.

Enam Warna

Dalam usaha merencanakan bendera Buddhis tersebut, saudara­saudara saya dari Sri Lanka telah mendapat sebuah pikiran yang sangat orisinil dan unik sekali. Mereka menyarankan, agar bendera Buddhis Internasional tersebut dibentuk dalam warna-warna aura atau cahaya yang ke luar dari badan Sang Buddha ketika Beliau mencapai kesucian di bawah Pohon Bodhi di Bodhgaya.

Mereka berpendapat, bendera yang dibuat dari warna-warna aura Sang Buddha, pasti dapat meniadakan perdebatan-perdebatan antar sekte. Semua sekte tanpa terkecuali, telah lama menerima tradisi warna aura Sang Buddha ini. Sama seperti yang telah mereka terima mengenai gambar dan bentuk patung-patung Sang Buddha.

Dalam tulisannya, Olcott selanjutnya mengatakan : “Kepada panitia, kami menyarankan agar bendera Buddhis tersebut tidak mempunyai atau mengandung arti politik dalam bentuk apapun. Dan harus mempunyai arti serta nilai keagamaan yang mendalam!”.

Panitia kemudian membuat sketsa­sketsa percobaan dari calon bendera/ panji Buddha tersebut. Sebuah sketsa kemudian disarankan oleh panitia berbentuk sebuah bendera yang panjang berkelok-kelok seperti ular.

Menurut pendapat saya, bendera panjang tersebut tidak praktis, dan akan sulit untuk dibawa dalam prosesi. Dan juga bendera seperti itu tidak indah bila dipasang di dinding.

“Saya mengusulkan bentuk bendera yang biasa saja. Setelah contohnya selesai dibuat, bendera tersebut disetujui oleh seluruh anggota panitia dengan suara bulat. Dalam waktu singkat, bendera ini telah menawan hati umat Buddha.

Pada Hari Raya Waisak tahun 1885, bendera tersebut pertama kali mulai dikibarkan di hampir semua vihara dan rumah penduduk di Sri Lanka”. demikian tulis Olcott.

Warna-warni yang terdapat pada bendera Buddhis adalah warna biru, kuning, merah, putih, dan jingga atau merah muda. Warna-warni ini disusun secara vertikal lalu disebelahnya ada kelima warna ini yang disusun secara horisontal. Setiap warna mempunyai arti yang berbeda. Warna-warni horisontal melambangkan perdamaian abadi dari ras-ras yang ada di dunia dan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Warna vertikal melambangkan perdamaian di dalam dunia ini.

Secara singkat, bendera Buddhis memberikan makna bahwa tidak ada diskriminasi ras ataupun kebangsaan, kedaerahan ataupun warna kulit, bahwa semua makhluk mempunyai potensi mencapai kesucian menjadi Buddha dan mempunyai karakteristik kebuddhaan.

Secara lengkap, keenam warna tersebut adalah :

INDONESIA
INGGRIS
PALI
SANSKERTA
1. Biru Sapphire Blue Nila Nila
2. Kuning Emas Golden Yellow Pita Pita
3. Merah Tua Crimson Lohita Rohita
4. Putih White Avadata Avadata
5. Jingga Scarlet Mangasta Menjistha
6. Gabungan ke lima warna di atas A hue composes of the above five collours Prabhasvara Prabhasvara
Panji Buddhis Enam Warna atau

Sadvarna Dvhaja tersebut bermakna :

1. Biru dari warna rambut Sang Buddha melambangkan bakti atau pengabdian

2. Kuning Emas dari warna kulit Sang Buddha melambangkan kebijaksanaan

3. Merah tua dari warna darah Sang Buddha
melambang cinta kasih

4. Putih dari warna tulang dan gigi Sang Buddha melambang kesucian

5. Jingga adalah warna yang diambil dari warna telapak tangan, kaki dan bibir Sang Buddha yang melambangkan semangat

6. Gabungan kelima warna melambangkan gabungan kelima faktor yang telah disebutkan di atas.

Adapun makna sebenarnya istilah “Prabhasvara” adalah bersinar sangat terang atau cemerlang

Keterangan :

Colonel Henry Steel Olcott adalah salah satu pendiri Perhimpunan Theosofi dan Presiden Internasional yang pertama dari perhimpunan tersebut. Bersama-sama dengan Panitia Pertahanan Buddhis Sri Lanka yang diketuai oleh Sumangala Sthavira , ia berhasil menciptakan panji tersebut.

Dalam usia 75 tahun, beliau meninggal dunia di India pada tanggal 17 Februari 1907 setelah 32 tahun mengabdi sebagai Presiden Perhimpunan Theosofi.

SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA

Untuk mengetahui awal masuknya Buddhisme (Agama Buddha) ke Indonesia, kita memerlukan sumber yang mengacu pada peninggalan-peninggalan masa lampau. Peningggalan-peninggalan masa lalu tersebut terdiri dari prasasti-prasasti yang ditemukan dan berita-berita luar negeri, yaitu dari orang-orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah memeluk agama yang datang dari India.

Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah Hinduisme (bukan Buddhisme). Tetapi dari penemuan patung-patung Buddha di beberapa bagian di Indonesia, jelaslah dapat disimpulkan bahwa Buddhisme juga sudah memasuki Indonesia, walaupun mungkin belum begitu meluas.

Sebelum kedatangan agama yang datang dari India, dapat dipastikan bahwa Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhur. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang, atau Dahyang, demikian beberapa sebutan yang biasa dipakai, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai suatu pekerjaan yang penting. Misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengerjakan tanah, dan lain sebagainya.

Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restu mudah diperoleh. Pertunjukan wayang erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini.

Informasi paling tua tentang keberadaan Buddhisme di Jawa dan Sumatera yang pada waktu itu belum begitu meluas juga didapat dari pengelana China bernama Fa Hsien (+/-337 – 422 M), yang sekembalinya dari Ceylon (Sri Lanka) ke China pada tahun 414 Masehi terpaksa mendarat di negeri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatera. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fa Hsien menyebutkan dalam catatannya bahwa hanya sedikit umat Buddha yang dijumpai di Ye-Po-Ti, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme. Namun demikian, sepertinya kondisi mulai berubah sesudah abad kelima.

Jejak Langkah Gunung Absurd

Master Ch’an Han Shan (1546-1623), atau Han Shan Te Ch’ing, adalah salah satu dari empat bhiksu besar era akhir Dinasti Ming. Selain itu, beliau dikenal sebagai praktisi Ch’an, cedekiawan dan sastrawan. Master Ch’an Shengyen (2002) menyebutnya sebagai, “contoh ideal Bodhisattva yang mengembangkan kebijaksanaan lewat meditasi, belajar, dan tindakan welas asih.”

Sejak berusia tujuh tahun Han Shan menyimpan pertanyaan tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia. Pada usia sembilan tahun, beliau hidup membiara dan ditasbihkan sebagai bhiksu pada usia sembilan belas tahun. Dalam praktik meditasinya, beliau mencapai berbagai tingkai pencerahan beragam. Semua pengalaman pencerahan tersebut dituang dalam otobiografi beliau yang kiranya ditulis dengan maksud memberikan tuntunan pada praktisi Ch’an mendatang.

Mengikuti kecenderungan di jamannya, Master Ch’an Han Shan dikenal dengan sikapnya yang inklusif terhadap perbedaan aliran dalam Buddhisme di Tiongkok. Metodenya menggabungkan antara praktik Ch’an dengan aliran Tanah Murni dan Huayen. Beliau dikagumi karena sikapnya yang tegas dalam menjalankan sila-sila, selain karya-karya ulasannya tentang Ajaran buddha yang banyak jumlahnya. Dikarenakan usahanya merenovasi dan mengaktifkan kembali Vihara Sesepuh Ch’an Ke enam Huineng di Caoji serja sejumlah vihara-vihara tua yang terbengkalai, beliau selalu dikenang jasa-jasanya, setelah wafat tubuh Han Shan yang tetapi tidak rusak disemayamkan di Caoji bersama dengan tubuh Sesepuh Ch’an Ke enam Huineng. Hingga kini beliau selalu dikenal kebali sebagai salah seorang Mahaguru Ch’an oleh praksisi Ch’an setelahnya.